PEMBELAJARAN GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR
merekonstruksi garis-garis batas tanah tersebut.
Bangsa Yunani yang banyak dipengaruhi oleh daerah Mediterania memiliki sedikit pandangan lebih maju terhadap geometri. Geometri telah dianggap sebagai sebuah abstraksi dari dunia nyata atau sebuah model yang membantu pikiran atau logika. Sampai akhirnya pada tahun 250 sebelum masehi Euclide menghasilkan karya monumental yang dituangkan ke dalam buku Element, yang hingga sekarang karyanya masih dipelajari dan digunakan.
Secara umum BBM 1 ini akan menjelaskan tentang dasar-dasar geometri seperti titik, garis, bidang, ruang, sinar garis, ruas garis, sudut, kurva yang sebagian besar hasil buah pemikiran Euclide. Walaupun pada perkembangannya sekarang sudah banyak sentuhan para akhli geometri modern seperti David Herbert dan G. D. Birkhoff. Adapun setelah anda mempelajari BBM 1 ini diharapkan dapat menjelaskan tentang,
1. Makna titik, garis, bidang, dan ruang.
2. Definisi sinar garis, ruas garis, dan sudut.
3. Definisi kurva dan jenis-jenis kurva.
Matematika tak pernah lepas dari pembahasan tentang geometri. Matematika di Sekolah Dasar selalu menjumpai materi geometri. Sebagai guru yang profesional, hendaknya mengetahui cara-cara mengajarkan materi tersebut kepada peserta didik. Berikut merupakan modul yang membahas mengenai materi pengajaran geometri di Sekolah dasar.
Pembelajaran Geometri
Geometri
menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika menengah, karena
banyaknya konsep-konsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang
psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual
dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan. Sedangkan
dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan
untuk pemecahan masalah, misalnya gambar-gambar, diagram, sistem
koordinat, vektor, dan transformasi. Geometri juga merupakan lingkungan
untuk mempelajari struktur matematika.
Usiskin mengemukakan bahwa
1. geometri adalah cabang matematika yang mempelajari pola-pola visual,
2. geometri adalah cabang matematika yang menghubungkan matematika dengan dunia fisik atau dunia nyata,
3. geometri adalah suatu cara penyajian fenomena yang tidak tampak atau tidak bersifat fisik, dan
4. geometri adalah suatu contoh sistem matematika.
Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya
diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang
baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara
matematik. Sedangkan Budiarto menyatakan bahwa tujuan pembelajaran
geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis,
mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk menunjang
materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan
argumen-argumen matematik.
Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk
dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini
karena ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka
masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan ruang. Meskipun demikian,
bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih
rendah dan perlu ditingkatkan. Bahkan, di antara berbagai cabang
matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan.
Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada yang mengambil
pelajaran geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa tersebut
yang dapat membuktikan teori dan mengerjakan latihan secara deduktif.
Selain itu, prestasi semua siswa dalam masalah yang berkaitan dengan
geometri dan pengukuran masih rendah . Selanjutnya, Hoffer menyatakan
bahwa siswa-siswa di Amerika dan Uni Soviet sama-sama mengalami
kesulitan dalam belajar geometri.
Rendahnya prestasi geometri siswa juga terjadi di Indonesia.
Bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri, mulai tingkat dasar
sampai perguruan tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa prestasi
geometri siswa SD masih rendah (Sudarman, 2000:3). Sedangkan di SMP
ditemukan bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep
geometri. Sesuai penelitian Sunardi (2001) ditemukan bahwa banyak siswa
salah dalam menyelesaikan soal-soal mengenai garis sejajar pada siswa
SMP dan masih banyak siswa yang menyatakan bahwa belah ketupat bukan
jajargenjang.
Di SMU, Madja (1992:3) mengemukakan bahwa hasil tes geometri siswa
kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi matematika yang lain.
Kesulitan siswa dalam memahami konsep-konsep geometri terutama pada
konsep bangun ruang. Madja (1992:3) menyatakan bahwa siswa SMU masih
mengalami kesulitan dalam melihat gambar bangun ruang. Sedangkan di
perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penelitian
ditemukan bahwa kemampuan mahasiswa dalam melihat ruang dimensi tiga
masih rendah. Bahkan dari berbagai penelitian, masih ditemukan mahasiswa
yang menganggap gambar bangun ruang sebagai bangun datar, mahasiswa
masih sulit menentukan garis bersilangan dengan berpotongan, dan belum
mampu menggunakan perolehan geometri SMU untuk menyelesaikan
permasalahan geometri ruang. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam
belajar geometri tersebut, cara yang dapat ditempuh adalah penerapan
teori van Hiele.
Teori van Hiele dan Penelitian yang Relevan
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina
van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional
dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah.
Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah
kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an,
Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van
Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai
terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an, penelitian
yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan
teori van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran
geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang
menekankan pada tahap belajar van Hiele dapat membantu perencanaan
pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (1989:318)
menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri
berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67)
berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van
Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan
bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat
berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo
(1989:77) menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran
model van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional.
Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van
Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa.
Tingkat Berpikir van Hiele
Teori
van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda,
Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan
perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van
Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam
belajar geometri. Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele adalah
tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (deduksi informal),
tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Tahap berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 0 (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap
holistik, tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk
geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya.
Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang
diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu,
pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri
dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.
Tahap 1 (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah
tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat
menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan,
pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian,
siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat
tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri
dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.
Tahap 2 (Deduksi Informal)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional,
tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton
menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah
dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan
sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat
definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan
menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun
secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi
logis adalah metode untuk membangun geometri.
Tahap 3 (Deduksi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini
siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa
dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa
berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan
antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari
perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
Tahap 4 (Rigor)
Clements & Battista juga menyebut tahap ini dengan tahap
metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap
aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem
matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma
dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan,
aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.
Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut
bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke
tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap
tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri. Burger dan
Culpepper juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik
bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.
Clements & Battista menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai
karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu,
terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap
tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara
implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap
berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri.
Crowley menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut
(1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai
urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih
banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia;
(3) intrinsik dan kestrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan
menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni
masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan
(5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan
tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni
jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada
tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses
berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks
geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi
pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang
digunakan.
Tahap-tahap
berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian
siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap
berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya
lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur
dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman
belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar